Sehubungan dengan adanya produk tentang murabahah emas, dan agar pemahaman atas transaksi ini lebih komprehensif, berikut kami sampaikan beberapa pertimbangan dan pendapat para ulama terkait dengan hal tersebut.
Barang Ribawi
Emas termasuk barang ribawi sebagaimana dinyatakan dalam hadist dari Ubadah bin As Shamit dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”(HR Muslim dengan syarah An Nawawi 11/14).
Riba fadl adalah: adanya tambahan dari salah satu barang sejenis yang dipertukarkan dalam transaksi jual beli barang-barang ribawi (misalnya emas dengan emas). (lihat kitab Bada’i Ash Shanai’, Karya Al Kasaany. 7/3105-3106 dan Al Mughny Muhtaaj 20/21.
Para ulama sepakat mengharamkan adanya tambahan / kelebihan dalam pertukaran sejenis barang-barang ribawi tersebut. (“Musykilatu al ististmaar fi al bunuuk al islamy wa kaifa ‘alajahaa al islam, Desertasi Doktor Dr. Muhammad Salaah Muhammad As Shawy, hal 334”
Akan tetapi berbeda pendapat dalam menganalogikan enam jenis barang ini dengan barang-barang yang lainnya. (khususnya menganalogikan emas dan perak dengan mata uang modern).
Illat (alasan) Emas dan Perak sebagai Barang Ribawi
Dalam kitab Fiqhu AsSunnah jilid 3/hal.869, Syaikh Sayyid Sabiq, menyatakan:
Dan jelaslah dari penjelasan ini bahwa illat pengharaman emas dan perak adalah karena keduanya merupakan astman / harga. Bila illat ini didapati pada mata uang lain selain emas dan perak maka hukumnya mengikuti hukum emas dan perak sehingga tidak boleh dijual kecuali harus sama kuantitas (sawaan bi sawaain) dan sama kualitasnya (mitslan bi mistlin) serta diserahkan saat itu juga (yadan bi yadin).
… bila dua barang yang dipertukarkan sama jenis dan illatnya, maka haram adanya kelebihan dan penangguhan waktu penyerahannya. Sebagaimana hadist dari rasulullah SAW: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali mistlan bi mistlin dan jangan kalian melebihkan satu dari yang lain……………HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said.
… bila jenis kedua barang yang dipertukarkan berbeda akan tetapi illatnya sama, maka diperbolehkan adanya kelebihan salah satu dari barang yang dipertukarkan dan diharamkan penangguhan penyerahan (karena bisa menimbulkan riba nasi’ah-ket) Bila emas ditukar dengan perak harus memenuhi satu syarat yaitu segera (fauriyah) dan tidak disyaratkan persamaan kualitas dan kuantitasnya.
Dalil: “.. jika jenis-jenis ini berbeda maka lakukanlah jual-beli sesuka kalian (dengan syarat) tunai (yadan bi yadin) … HR. Muslim dari Ubadah.
Sekarang kita akan bahas Illat riba pada emas dan perak, sebagaimana ditulis oleh Dr. Muhammad Salaah Muhammad As Shawy dalam desertasi Doktornya “Musykilatu al ististmaar fi al bunuuk al islamy wa kaifa ‘alajahaa al islam” (Problematika investasi di Bank Syariah dan bagaimana Islam memberi solusinya): hal.335-341
Mayoritas ulama fiqh sepakat untuk menganalogikan / mengikutkan kedalam jenis/kelompok barang-barang ribawi yang enam ini, selama illatnya sama. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menentukan illat tersebut, berikut perbedaannya khususnya illat riba pada emas dan perak:
1. Pengikut Mazhab Hanafi (Kitab Badaa’i Ash Shana’i, karangan Al Kasaany 7/3108,3109): menyatakan bahwa illat riba fadl adalah sesuatu yang ditimbang / ditakar dengan sesama jenisnya, ini juga merupakan salah satu pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad Bin Hanbal. Berdasarkan riwayat ini emas dan perak / dinar dan dirham masuk kedalam kelompok barang yang ditimbang dan bisa menimbulkan riba bila ditukarkan sejenis. Dalil mereka adalah banyaknya isyarat tentang itu dalam Al-Qur’an surat Asy Syu’araa: 181-183; Al Mutaffifien : 1-3
2. Mazhab Syafii (kitab Mughni Al Muhtaaj 2/22 ; Al Umm – Mukhtashar Al Muzny:76): Illatnya adalah ats tsamaniyah (harga), dengan emas dan perak orang dapat mendapatkan barang-barang yang diinginkannya.
3. Mazhab Hanbali (Al Mughny, karangan Ibnu Qudaamah, Illatnya adalah:
1. Ditimbang dan persamaan jenis. Sabda Rasulullah SAW: “Janganlah kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, tidak pula menjual satu dirham dengan dua dirham…….karena aku takutkan riba pada kalian, lalu seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana kalau seseorang menjual satu ekor kuda dengan beberapa kuda…., beliau bersabda: “tidak apa-apa bila yadan bi yadin”.
2. Ats Tsamaniyah
4. Mazhab Maliki (kitab Haasiyatu Al ‘Adwa: Hamisy ‘Ali Al Kharsy 5/56), illat riba pada emas dan perak adalah:
1. Ghalabatu Ats Tsamaniyah, ini adalah riwayat yang masyhur; maka illat ini hanya terbatas pada emas dan perak dan tidak diqiyaskan kepada selain emas dan perak.
2. Muthlaqu Ats Tsamaniyah, emas dan perak dapat di qiyaskan kepada barang-barang lain selama barang-barang tersebut adalah ats tsaman, ini pendapat yang minoritas / tidak populer.
Kesimpulan:
(a) Assyafi’iyah dan Al Malikiyah: berpendapat bahwa illat emas dan perak adalah ghalabatus tsamaniyah (harga), keduanya merupakan acuan harga (ra’sul atsmaan) dan standar nilai barang-barang lainnya, akan tetapi illat ini hanya terbatas pada emas dan perak dan tidak di qiyaskan kepada barang-barang yang lain. Hal.342
(b) Imam Syafi’i (Kitab Al Umm 3/15) menyebutkan: “Emas dan Perak menjelaskan segala sesuatu, keduanya merupakan penilai harga segala sesuatu, maka tidak diqiyaskan kepada keduanya makanan ataupun barang-barang lainnya.
(c) Ibnu Rasyid (Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd 2/130), beliau berbicara tentang illat riba menurut imam Mazhab Malikiyah: “Adapun illat riba menurut mereka yang melarang adanya kelebihan dari salah satu barang (emas dan perak ) yang dipertukarkan adalah satu jenis/kelompok juga karena keduanya merupakan acuan/pokok harga dan penilai barang-barang, illat ini terbatas pada pada emas dan perak karena illat tersebut tidak terdapat pada selain emas dan perak.
Permasalahan
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah:
Bagaimana bila pendapat yang menyatakan illat emas dan perak adalah ghalabatu ats samaniyah ini yang kita gunakan dalam transkasi keuangan modern saat ini?, saat dimana transaksi menggunakan emas dan perak sudah berakhir, kemudian digantikan dengan uang kertas yang dijadikan penilai/standar harga segala sesuatunya, serta dipercaya dan diterima secara umum oleh masyarakat?
Ini berarti pembolehan riba fadhl dan riba nasi’ah dalam pertukaran / jual beli antara seluruh jenis mata uang modern, karena ia bukan emas dan perak !! juga bukan termasuk yang ditimbang ataupun ditakar !!.
Padahal jika yang mejadi illat adalah harga (tsamaniyah), bukankah merupakan qiyas yang nyata bahwa hukum ini bisa diterapkan pada barang-barang yang memiliki illat yang sama. Terutama saat transaksi dengan asal/pokok (emas dan perak) sudah hilang, kemudian penggantinya (uang) yang menjadi satu-satunya alat transaksi?
Hal ini juga didukung oleh pendapat Imam Malik Rahimahullah (walaupun pendapatnya tidak populer), dalam kitabnya Al Mudawanah Al Kubra 3/295-296, menjelaskan: “Seseorang berkata: “Bagaimana menurut anda (Imam Malik) bila saya membeli fulus (mata uang terbuat dari tembaga) dengan dirham, kemudian kami berpisah sebelum masing-masing dari kami menerima barangnya?, ia berkata hal semacam ini tidak diperkenankan menurut pendapat Malik dan transaksinya fasid (rusak/batal). Kemudian Imam Malik berkata kepadaku tentang fulus: “tidak ada kebaikan pada fulus itu bila dibandingkan dengan emas dan perak, walaupun manusia membolehkan kulit sebagai alat transaksi diantara mereka (syikkah dan a’in) maka saya tetap tidak menyukainya dibanding dengan emas dan perak. Ini adalah pendapat yang tidak masyhur dari Imam Malik dimana beliau menyatakan illat riba pada emas dan perak adalah mutlaq ats tsamaniyah, ini juga salah satu pendapat dalam mazhab Imam Ahmad.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang jual beli perak dengan fulus, apakah disyaratkan dalam jual beli tersebut al hulul (saat itu juga) dan taqhabudh (serah terima pada saat yang sama) seperti halnya pertukaran antara dirham dengan dinar?, beliau menjawab:
Ada dua pendapat, keduanya riwayat dari Imam Ahmad (majmu’ fatawa ibnu taimiyah 29/459):
1. Pertama: Harus al-hulul dan taqabudh karena ini merupakan transaksi pertukaran/jual beli uang (sharf), fulus menyerupai al Astmaan (penilai harga) maka memperjual belikannya dengan jenis al astmaan yang lain merupakan transaksi sharf.
2. Kedua: Tidak disyaratkan Al Hulul and Taqabudh, karena ia adalah syarat dalam pertukaran dalam jenis emas dan perak, baik ia sebagai harga, sharf ataupun dalam keadaan pecahan, sehingga berbeda dengan fulus, karena fulus pada asalnya merupakan barang (‘aruudh) bukan harga.
Akan tetapi Ibnu Taimiyah selanjutnya mengatakan, bila fulus sudah menjadi harga maka ia menjadi semakna, sehingga tidak diperkenankan memperjual belikan tsaman (fulus) dengan tsaman (perak) secara tangguh. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 3/472).
Bagaimana Dengan Murabahah Emas?
Dalam konteks murabahah emas, maka yang terjadi adalah jual beli emas dengan mata uang rupiah dengan pembayaran tangguh (cicilan), pertanyaannya adalah apakah mata uang rupiah termasuk dalam barang ribawi atau tidak?
1. Bila kita mengacu pada pendapat yang mengatakan bahwa illat tsaman terbatas hanya untuk emas dan perak (Ghalabatu Ats tsamaniyah), maka mata uang rupiah tidak termasuk barang ribawi, sehingga pertukaran emas (barang ribawi) dengan rupiah (barang non ribawi) dapat dilakukan secara tangguh dan tidak disyaratkan sama kualitas dan kuantitasnya.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah pembolehan pertukaran / jual beli antara seluruh jenis mata uang modern, bila sejenis boleh dipertukarkan dengan adanya tambahan/kelebihan (fadhl) dari salah satunya dan bila beda jenis penyerahannya boleh dilakukan secara tangguh (nasi’ah).
Hal ini juga disinggung dalam fatwa DSN MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002, tentang jual beli mata uang (sharf), dimana dalam fatwa tersebut dinyatakan:
Kedua : Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
1) Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (?????? ??? ????? ??????) dan merupakan transaksi internasional.
2) Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3) Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4) Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
2. Akan tetapi bila mengacu kepada pendapat yang mengatakan bahwa rupiah termasuk barang ribawi karena illatnya adalah tsaman (standar harga) atau mutlaqu ats tsamaniyah, maka yang terjadi adalah pertukaran emas (barang ribawi) dengan rupiah (barang ribawi), jenisnya memang berbeda akan tetapi penyerahannya tidak boleh dilakukan secara tangguh (harus al hulul dan taqabudh atau yadan bi yadin).
Isu Penting Dalam Murabahah Emas
Yang menjadi isu dalam produk ini adalah jual beli emas dengan rupiah secara cicilan (tangguh), bila rupiah dianggap sebagai barang ribawi (atsman), maka pertukaran sesama barang ribawi yang berbeda jenisnya harus memenuhi syarat al-hulul dan taqabudh (fauriyah) atau yadan bi yadin. Sehingga bila syarat ini terpenuhi maka riba nasi’ah (yang dikhawatirkan) tidak terjadi dalam transaksi ini.
Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan al-hulul dan taqabudh (fauriyah) atau yadan bi yadin? Dan bagaimana penerapannya dalam transaksi bisnis modern?
Apakah dalam taqabudh diharuskan penyerahan emas/logam mulia dan uangnya secara utuh (senilai harga emas/logam mulia) pada saat transaksi (dalam majlis akad)? Atau uangnya boleh sebahagian dulu dan sisanya nanti menyusul (dicicil), karena harganya sudah disepakati?.
* Artikel ditulis oleh Mas Habib, Praktisi Perbankan Syariah dan Anggota Dewan Pengawas Syariah